JURNALWARGA.ID- Indonesia saat ini sedang dilanda wabah COVID-19, kali ini relawan uji klinis vaksinnya yang ikut mendapat cap di kalangan masyarakat.
Seperti misalnya cerita dari Herlina Agustin, salah satu relawan uji klinis vaksin buatan Sinovac. Herlina mendapat banyak cap dari masyarakat seperti menjadi kelinci percobaan hingga dinilai merugikan diri sendiri demi negara lain.
“Saya dibilang, ‘Kok berani sih jadi kelinci percobaan?'” kata Herlina, dilansir dari BBC News Indonesia, Kamis (19/11). “Yang kedua, ‘Ini kan vaksinnya dari China, biarin aja orang-orang China aja dulu yang diuji coba, jangan kita. Kalau kamu mati, siapa yang rugi?'”
Herlina sendiri mengaku tidak menyesal sudah terlibat sebagai relawan di uji klinis vaksinnya, namun ia prihatin dengan berbagai stigma yang mengiringi. “Kenapa sih ada orang yang mikir seegois itu?” ungkap Herlina.
“Orang lain yang mati dan kita tinggal ambil yang sudah jadinya aja. Itu yang bikin saya jadi prihatin. Kok seegois itu manusia?” imbuhnya.
Cap “kelinci percobaan” juga disampaikan kepada relawan bernama Riani (19). Namun ia langsung membantah tudingan itu karena kesehatannya pun dijamin selama proses uji klinis ini.
“Katanya kan kalau misalnya jadi relawan tuh kayak kelinci percobaan. Tapi aku nggak merasa ini kelinci percobaan,” terang Riani. “Karena kita benar-benar dijamin 100 persen kesehatannya.”
Stigma sosial yang mengiringi para relawan uji klinis ini pun menjadi sorotan ahli kejiwaan. Dokter spesialis kejiwaan, Elvine Gunawan, menegaskan bahwa cap buruk di masyarakat sedikit banyak akan memengaruhi kesehatan mental yang bersangkutan.
“Informasi negatif sangat buruk untuk kesehatan mental kita. Suatu ucapan negatif yang diulang berkali-kali bisa menyebabkan kita menjadi down, menjadi stress,” tutur Elvine. “Stigma untuk corona sendiri aja belum selesai di masyarakat, sekarang ditambah lagi vaksin.”
Karena itulah diperlukan pendampingan psikologis bagi para relawan vaksin ini. Evaluasi kejiwaan para relawan harus dilakukan secara berkala, bahkan semestinya dimulai sejak masa uji pra-klinis, demi menghindari bias hasil penelitian juga.
“Secara ideal, kita evaluasi dari tahap pra-nya, apakah orang ini sudah ada gangguan mental emosional atau tidak,” tutur Elvine. “Tentu akan beda keluhannya ketika orang ini sudah punya riwayat cemas. Kan orang cemas apa-apa dirasa. Jadi ketika disuntik terus ada rasa segala macam akan mengaitkan dengan vaksinnya.”
“Atau sebelumnya, dia punya riwayat depresi. Orang depresi dengan keluhan somatic biasanya banyak keluhan fisiknya, bukan tidak mungkin ini juga menjadi bias,” pungkasnya.