Jakarta, Jurnalwarga.id – Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan bahwa kenaikan harga beras di tingkat konsumen tidak terlepas dari kenaikan harga gabah di tingkat produsen. Naiknya harga gabah tersebut ditengarai akibat kurangnya stok di lapangan sehingga terjadi perebutan gabah yang memicu kenaikan harga di tingkat petani.
“Kalau hari ini kita lihat bahwa petani happy dengan kenaikan harga gabah, namun di tingkat penggilingan tidak bisa berjalan seperti biasa karena stok gabah di lapangan terbatas. Jadi dengan berkurangnya pasokan gabah ini, tugas kita bersama-sama mendorong kementerian teknis untuk meningkatkan produksi hingga akhir tahun.” ujar Arief dalam keterangannya, Selasa (26/09/2023).
Baca JugaSimak! Ini Tips Khusus Bikin CV Bagi Kamu yang Minim Pengalaman Kerja
Arief mengatakan, kenaikan harga gabah sejatinya dapat digunakan sebagai momentum untuk mendorong peningkatan produksi karena harga di tingkat petani relatif baik. Karena itu, faktor-faktor produksi antara lain penyediaan lahan, pengolahan, pupuk, benih, penyuluhan hingga teknologi dan mekanisasi sangat penting dalam menjaga tingkat produksi di lapangan di tengah ancamana El Nino yang berdampak pada penurunan produksi.
“Jadi kebijakan ini tentunya harus terintegrasi dari hulu hingga hilir, di on farm menjaga dan meningkatkan produksi harus terus diupayakan, di off farm atau pasca panennya kita menyerap hasil panen petani dengan mengoptimalkan BUMN pangan sebagai offtaker, dan NFA ditugaskan oleh Presiden untuk menyiapkan Cadangan Pangan Pemerintah.” ujar Arief.
BPS memperkirakan pada September hingga November 2023, produksi beras nasional akan lebih rendah dari total kebutuhan konsumsi beras yang mencapai 2,55 juta ton per bulan. Adapun tren produksi padi nasional diperkirakan mengalami penurunan dalam tiga bulan masing-masing 4,07 juta ton GKG pada September 3,82 juta ton GKG pada Oktober, dan 2,88 juta ton GKG pada November.
“Secara historis biasanya pada semester kedua memang produksi beras dalam negeri lebih sedikit dibandingkan semester pertama, dan hingga akhir tahun ini berdasarkan data BPS, neraca beras bulanan mengalami defisit. Ini tentunya harus diantisipasi karena kita tidak hanya berhadapan dengan kondisi defisit tersebut, tapi juga ada momentum natal dan tahun baru, serta Pemilu pada April 2024.” ungkap Arief.
Arief menegaskan bahwa stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang sudah disiapkan tetap dalam posisi yang aman, dan siap digunakan untuk intervensi stabilisasi. Untuk itu, pemerintah terus menggelontorkan bantuan pangan beras kepada 21,353 juta KPM di seluruh Indonesia. Bantuan ini berasal dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang ada di Bulog sebanyak 640 ribu ton dan disalurkan mulai September hingga tiga bulan ke depan.
Bantuan pangan tahap pertama yang digelontorkan pada April – Juni ditengarai berhasil menekan laju rata-rata kenaikan harga beras 0,41 persen sehingga berdampak pada pengendalian inflasi nasional. BPS mencatat andil inflasi beras Februari 2023 sebesar 0.08 persen turun pada April 2023 menjadi 0,01 persen bahkan pada Mei dan Juni 2023 beras menyumbang deflasi.
“Jadi berdasarkan arahan Bapak Presiden Joko Widodo, bantuan pangan ini kembali digelontorkan untuk mengendalikan inflasi. Andil beras terhadap inflasi kan signifikan sehingga kita melihat ini menjadi salah satu langkah yang ditempuh pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya masyarakat berpendapatan rendah.” ujar Arief.
Baca JugaMV Samudera Sakti III Terbakar di Perairan Lampung, 24 ABK dan 2 Vendor Selamat
Selain itu, lanjutnya, Gerakan Pangan Murah (GPM) juga terus digencarkan hingga ke seluruh daerah. Menurutnya, Badan Pangan Nasional sudah bersurat kepada seluruh Gubernur, Bupati, dan Walikota seluruh Indonesia agar secara rutin setiap minggu melakukan GPM dan operasi beras SPHP yang berkolaborasi dengan Perum Bulog dan stakeholder pangan terkait.
Adapun sejak Januari hingga Agustus 2023 total kegiatan GPM dilaksanakan di 877 lokasi di 35 provinsi dan 320 kabupaten/kota, dan akan terus bertambah seiring dengan pemanfaatan dana dekonsentrasi yang diturunkan melalui NFA untuk menggencarkan GPM. Arief mengatakan optimalisasi dana dekonsentrasi sangat penting dan strategis dalam menjaga tingkat inflasi nasional.
“Saat ini dana dekonsentrasi yang diturunkan melalui Badan Pangan Nasional dapat dioptimalkan oleh daerah, kita sudah bersurat kepada seluruh gubernur, bupati, dan walikota agar memanfaatkan dana dekonsentrasi untuk menggencarkan Gerakan Pangan Murah.” ujar Arief.
Selain itu, lanjutnya, daerah juga dapat menggunakan dana APBD dan Biaya Tidak Terduga (BTT) sebagai sumber pembiayaan untuk menggencarkan GPM sehingga diharapkan laju harga beras di tingkat konsumen dapat tertekan dan inflasi tetap terjaga.
“Bersama Pak Tito (Mendagri), kita akan terus melakukan pemantauan secara rutin mengenai progress yang ada di daerah sehingga GPM ini terus kita gencarkan dan kita berharap berdampak pada terkendalinya inflasi.” pungkasnya.***