Beranda KOLOM Tradisi Nyorog, Ajang Silaturahmi dan Berbagi di Masyarakat Betawi

Tradisi Nyorog, Ajang Silaturahmi dan Berbagi di Masyarakat Betawi

22
Tradisi Nyorog Masyarakat Betawi Lubang Buaya
Tradisi Nyorog Masyarakat Betawi di Festival Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu (24/8/2024).
- IKLAN -pub-1078666423654568

Jakarta, Jurnalwarga.idTradisi Nyorog merupakan salah satu budaya Betawi yang masih ada hingga saat ini. Nyorog dalam bahasa Betawi memiliki arti menghantar atau mengantarkan sesuatu atau bingkisan.

Dalam Praktiknya, Nyorok menjadi tradisi untuk mengirim atau mengantar makanan dan bingkisan kepada orang yuang dituakan atau anggota keluarga yang lebih tua. Biasanya tradisi ini dilakukan saat menyambut Ramadan, jelang hajatan dan pernikahan.

- IKLAN -pub-1078666423654568

Tradisi Nyorog Betawi menjadi acara pembuka dalam penyelenggaraan Festival Lubang Buaya yang diselenggarakan di Lapangan Sepakbola Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur pada Sabtu (24/8/2024).

Tradisi Nyorog Betawi Buka Penyelenggaraan Festival Lubang Buaya 2024

Ketua Panitia Festival Lubang Buaya Julian Fajar Kusumah mengatakan Festival Lubang Buaya ini menjadi salah satu bentuk cara warga melestarikan kebudayaan Betawi.

“Pengenalan budaya Betawi lewat festival merupakan salah satu upaya mendorong pelestarian budaya Betawi. Dengan begitu, nilai-nilai penting dari budaya Betawi tidak hilang dan bisa tersalur dari generasi ke generasi selanjutnya,” ujar Julian kepada Tim Jurnalwarga dilokasi.

Festival Lubang Buaya digelar di Lapangan Sepakbola Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta Timur selama dua hari pada 24-25 Agustus 2024.

Lalu dari mana asal tradisi nyorog ini bermula:

Melansir dinaskebudayaan.jakarta.go.id, sumber lain mengatakan pada masa dahulu kala, sebelum Agama Islam Masuk ke Nusantara masyarakat betawi sering menggelar ritus baritan atau sedekah bumi yang merupakan upacara adat yang merupakan refleksi dari interaksi manusia, lingkungan, dan kepercayaan kepada sang pencipta.

Dalam acara adat tersebut, masyarakat akan mengantarkan sesajen yang dipersembahkan kepada Dewi Sri yang menjadi symbol kemakmuran sebagai ungkapan rasa syukur atas yang diberikan kepada seluruh makhluk. Tak hanya itu, masyarakat juga bersyukur atas kesuburan tanah dan hasil bumi yang melimpah.

Cek Fakta! Benarkah JakLingko Tak Lagi Gratis? Awas Hoaks!

Setelah Agama Islam masuk, tradisi tersebut sedikit berubah. Masyarakat Betawi tetap mengantarkan makanan, tetapi bukan dalam bentuk sesajen dan bukan untuk Dewi Sri, melainkan untuk orang-orang yang dituakan.

Mereka melakukan itu sambil bersilaturahmi ke rumah orang-orang yang dituakan atau dihormati menjelang bulan Ramadan. Bingkisan yang diberikan umumnya berupa bahan makanan seperti gula, beras, susu, kopi, sirup, atau makanan seperti ikan, daging, atau kue.***